Berbagai krisis yang terjadi tak berujung akhir di Papua,
meskipun pemerintah pada 2001 telah menurunkan suatu kebijakan berupa Otonomi
Khusus (Otsus) di Papua, yang hakekatnya, bersumber dari akar masalah ketidakadilan
sosial sekaligus ketidakadilan
struktural.
Banyak temuan di lapangan, sebagian besar masyarakat kurang
paham akan ideology Pancasila dan masih adanya sebagian kecil kelompok
masyarakat yang menginginkan untuk mendirikan sebuah negara Papua Merdeka
dengan tujuan memisahkan diri dari wilayah negara RI. Di Papua, mempunyai
dinamika politik yang sangat tinggi khususnya yang berkaitan dengan Otsus dan
Pilkada tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota.
Dengan adanya kebijakan otsus, terindikasi dalam kerangka
penerapan system desentralisasi yang tidak sama antara pusat dengan daerah
(asimetri) tersebut, yang diiringi
dengan mengalirnya sejumlah anggaran melalui dana otsus, ternyata tak menunjang
dengan perbaikan kesejahteraan mayoritas
masyarakat Papua.Bahkan terdapat indikasi yang sangat kuat bahwa aliran dana
otsus tersebut lebih banyak memperkaya para elite penguasa lokal di Papua. Hal serupa
akibat dari besarnya dana otsus yang
membuat kesenjangan daerah lain yang selama ini tak diimbangi dengan penerapan
sistem responsibilitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatannya.
Padahal Otsus seharusnya mampu membuat masyarakat setempat
mejadi semakin berdaya, bukan sebaliknya justeru terperdaya. Realitas yang ada
saat ini, mayoritas masyarakat Papua masih tetap mengalami kesulitan untuk
mendapatkan hak dasarnya seperti hak pendidikan, kesehatan, keamanan dan
tingkat kesejahteraannya masih jauh dari kelayakan, sarana dan prasarana
kehidupan sosialnya masih sangat memprihatinkan terutama di daerah pedalaman
Papua.
Seringnya terjadi penembakan yang dilakukan orang yang tak dikenal (OTK) terhadap warga
dan aparat keamanan dibeberapa tempat yang hingga saat ini pihak aparat belum
mengungkap siapa penembaknya. Sehingga hal ini, menjadikan suatu traomatik bagi
warga dan merasakan hak keamanannya kurang terlindungi atau warga kurang rasa
aman. Bahkan, penembakan penembakan (OTK) ini dipolitisasi untuk menggiring
pihak aparat TNI/Polri terjebak dalam isu pelanggaran HAM.
Tata kehidupan yang tersekat antara penduduk local dan pendatang
terjadi pertumbuhan yang signifikan. Dimana menurut data statistic melalui
sensus 2010 penduduk pendatang 54% berkehidupan di perkotaan dan penduduk asli
sekitar 56% hidup di pedalaman. Hal ini menjdikan suatu sumbu sumbu konflik dan
menjadikan suatu permasalahan baru. Di Papua terdapat beberapa suku yang SDM
nya sangat rendah sehingga mudah diprovokasi untuk menjadi suatu konflik
komunal.
Permasalahan lain yang timbul dibeberapa tempat lainnya, sebut
saja, di daerah Pegunungan Bintang dan wilayah perbatasan RI –PNG, terjadi ketidakpastian status hak
kewarganegaraan masyarakat Papua yang berada di Wilayah perbatasan antara
RI-PNG. Kondisi ini terjadi akibat adanya suatu perbedaan dalam menentukan
batas dua wilayah negara yang ditetapkan oleh pemerintah dengan batas wilayah
yang ditetapkan berdasatkan hak ulayat dari warga masyarakat adat Papua maupun
PNG.
Untuk menyelesaikan permasalahan yang berlarut larut di Bumi
Cendrawasih ini, pemerintah pusat perlu mengevaluasi dampak dari penerapan
Otsus yang selama ini masih belum memberikan manfaat bagi myoritas warga Papua,
karena berbagai indikasi terjadinya praktek penyimpangan penggunaan anggaran
Otsus untuk kepentingan segelintir elite penguasa di Papua.
Kebijakan Otsus akan memiliki arti bagi masyarakat jika
masyarakat dapat merasakan keadilan, terutama ikut merasakan hasil-hasil sumber
daya alam(SDA)nya sendiri. Bila ditarik benang merah, memang terdapat kaitan
antara persoalan Otsus Papua dengan hasil pengerukan Kekayaan dari SDA yang
dilakukan oleh PT.Freeport. Secara nyata, masyarakat melihat bahwa pengerukan
kekayaan alam di Papua sehar usnya mampu memberikan kesejahteraan
bagimasyarakat. Pemerintah Pusat tidak boleh tidak untuk menyelesaikan kompleksitas masalah yang berlarut larut
terjdi di Papua.
Fenomena Otsus seharusnya menjadi pembelajaran yang berharga
bahwa penerapan system desentralisasi atas nama Otsus harus diiringi kebijakan
pusat untuk tetap melakukan spervisi atas implementasinya dan secara efektif
memantau manfaatnya bagi perbaikan atas hak dasar masyarakat.
Pemerintah perlu secara intensif melakukan dialog dengan
masyarakat dari berbagai elemen kritisi di Papua untuk mencari solusi bersama
guna menyelesaikan segala permasalahan yang berlarut larut muncul di permukaan.
Masalah-masalah di Papua harus terselesaikan dengan mata hati, karena Papua
adalah merupakan bagian yang tak
terpisahkan denga wilayah NKRI.
Permasalahan penyelesaian konflik dan penembakan yang
dilakukan OTK tidak bisa bersandar pada aparat keamanan dalam hal ini Polri dan
TNI semata, akan tetapi harus mengedepankan peran elemen/instansi lain terutama
yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan dan penegakan hukum. Dengan
meningkatnya kesejahteraan dan terungkapnya penembakan OTK maka secara evolusi
ide konflik dan penembakan tidak akan pernah mendapat dukungan masyarakat.
Program ini harus terlaksana secara sinergi lintas sector antar elemen dan
intansi dengan meninggalkan ego sektoral masing masing untuk berbuat yang
terbaik untuk Papua dengan mengedepankan koordinasi sehingga tersusun program
yang komprihensif dan terpadu.
Agar aparat keamanan khususnya Polri – TNI dalam menangani keamanan
tidak terjebak pada politisasi pelangaran HAM, perlunya mengedepankan keamanan melalui
kebudayaan dan kesejahteraan yang ditopang segala komponen bangsa. Terlebih
masalah keamanan tidak hanya aparat keamnan yang bertanggung jawab melainkan
segenap komponen bangsa harus ikut bertanggung jawab dalam penyelesaiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar