Minggu, 11 Maret 2012

Mengurai Permasalahan Papua

Berbagai krisis yang terjadi tak berujung akhir di Papua, meskipun pemerintah pada 2001 telah menurunkan suatu kebijakan berupa Otonomi Khusus (Otsus) di Papua, yang hakekatnya, bersumber dari akar masalah ketidakadilan sosial    sekaligus ketidakadilan struktural.  

Banyak temuan di lapangan, sebagian besar masyarakat kurang paham akan ideology Pancasila dan masih adanya sebagian kecil kelompok masyarakat yang menginginkan untuk mendirikan sebuah negara Papua Merdeka dengan tujuan memisahkan diri dari wilayah negara RI. Di Papua, mempunyai dinamika politik yang sangat tinggi khususnya yang berkaitan dengan Otsus dan Pilkada tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota.


Dengan adanya kebijakan otsus, terindikasi dalam kerangka penerapan system desentralisasi yang tidak sama antara pusat dengan daerah (asimetri) tersebut, yang  diiringi dengan mengalirnya sejumlah anggaran melalui dana otsus, ternyata tak menunjang  dengan perbaikan kesejahteraan mayoritas masyarakat Papua.Bahkan terdapat indikasi yang sangat kuat bahwa aliran dana otsus tersebut lebih banyak memperkaya para elite penguasa lokal di Papua. Hal serupa  akibat dari besarnya dana otsus yang membuat kesenjangan daerah lain yang selama ini tak diimbangi dengan penerapan sistem responsibilitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatannya.

Padahal Otsus seharusnya mampu membuat masyarakat setempat mejadi semakin berdaya, bukan sebaliknya justeru terperdaya. Realitas yang ada saat ini, mayoritas masyarakat Papua masih tetap mengalami kesulitan untuk mendapatkan hak dasarnya seperti hak pendidikan, kesehatan, keamanan dan tingkat kesejahteraannya masih jauh dari kelayakan, sarana dan prasarana kehidupan sosialnya masih sangat memprihatinkan terutama di daerah pedalaman Papua. 

Seringnya terjadi penembakan yang dilakukan  orang yang tak dikenal (OTK) terhadap warga dan aparat keamanan dibeberapa tempat yang hingga saat ini pihak aparat belum mengungkap siapa penembaknya. Sehingga hal ini, menjadikan suatu traomatik bagi warga dan merasakan hak keamanannya kurang terlindungi atau warga kurang rasa aman. Bahkan, penembakan penembakan (OTK) ini dipolitisasi untuk menggiring pihak aparat TNI/Polri terjebak dalam isu pelanggaran HAM.

Tata kehidupan yang tersekat antara penduduk local dan pendatang terjadi pertumbuhan yang signifikan. Dimana menurut data statistic melalui sensus 2010 penduduk pendatang 54% berkehidupan di perkotaan dan penduduk asli sekitar 56% hidup di pedalaman. Hal ini menjdikan suatu sumbu sumbu konflik dan menjadikan suatu permasalahan baru. Di Papua terdapat beberapa suku yang SDM nya sangat rendah sehingga mudah diprovokasi untuk menjadi suatu konflik komunal.

Permasalahan lain yang timbul dibeberapa tempat lainnya, sebut saja, di daerah Pegunungan Bintang dan wilayah perbatasan RI –PNG,  terjadi ketidakpastian status hak kewarganegaraan masyarakat Papua yang berada di Wilayah perbatasan antara RI-PNG. Kondisi ini terjadi akibat adanya suatu perbedaan dalam menentukan batas dua wilayah negara yang ditetapkan oleh pemerintah dengan batas wilayah yang ditetapkan berdasatkan hak ulayat dari warga masyarakat adat Papua maupun PNG.  

Untuk menyelesaikan permasalahan yang berlarut larut di Bumi Cendrawasih ini, pemerintah pusat perlu mengevaluasi dampak dari penerapan Otsus yang selama ini masih belum memberikan manfaat bagi myoritas warga Papua, karena berbagai indikasi terjadinya praktek penyimpangan penggunaan anggaran Otsus untuk kepentingan segelintir elite penguasa di Papua. 

Kebijakan Otsus akan memiliki arti bagi masyarakat jika masyarakat dapat merasakan keadilan, terutama ikut merasakan hasil-hasil sumber daya alam(SDA)nya sendiri. Bila ditarik benang merah, memang terdapat kaitan antara persoalan Otsus Papua dengan hasil pengerukan Kekayaan dari SDA yang dilakukan oleh PT.Freeport. Secara nyata, masyarakat melihat bahwa pengerukan kekayaan alam di Papua sehar usnya mampu memberikan kesejahteraan bagimasyarakat. Pemerintah Pusat tidak boleh tidak untuk menyelesaikan  kompleksitas masalah yang berlarut larut terjdi di Papua.

Fenomena Otsus seharusnya menjadi pembelajaran yang berharga bahwa penerapan system desentralisasi atas nama Otsus harus diiringi kebijakan pusat untuk tetap melakukan spervisi atas implementasinya dan secara efektif memantau manfaatnya bagi perbaikan atas hak dasar masyarakat. 

Pemerintah perlu secara intensif melakukan dialog dengan masyarakat dari berbagai elemen kritisi di Papua untuk mencari solusi bersama guna menyelesaikan segala permasalahan yang berlarut larut muncul di permukaan. Masalah-masalah di Papua harus terselesaikan dengan mata hati, karena Papua adalah merupakan  bagian yang tak terpisahkan denga wilayah NKRI.

Permasalahan penyelesaian konflik dan penembakan yang dilakukan OTK tidak bisa bersandar pada aparat keamanan dalam hal ini Polri dan TNI semata, akan tetapi harus mengedepankan peran elemen/instansi lain terutama yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan dan penegakan hukum. Dengan meningkatnya kesejahteraan dan terungkapnya penembakan OTK maka secara evolusi ide konflik dan penembakan tidak akan pernah mendapat dukungan masyarakat. Program ini harus terlaksana secara sinergi lintas sector antar elemen dan intansi dengan meninggalkan ego sektoral masing masing untuk berbuat yang terbaik untuk Papua dengan mengedepankan koordinasi sehingga tersusun program yang komprihensif dan terpadu. 

Agar aparat keamanan khususnya Polri – TNI dalam menangani keamanan tidak terjebak pada politisasi pelangaran HAM,  perlunya mengedepankan keamanan melalui kebudayaan dan kesejahteraan yang ditopang segala komponen bangsa. Terlebih masalah keamanan tidak hanya aparat keamnan yang bertanggung jawab melainkan segenap komponen bangsa harus ikut bertanggung jawab dalam penyelesaiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar